Cinta Dunia

Pada awalnya aku berkata bahwa aku bisa melakukannya dengan usahaku sendiri, tentunya didukung dengan doa dari diri dan dari orang lain. Namun sifat alami manusia mengalahkan itu semua. Ya, kemalasan. Dengan satu kata itu saja cukup mencerminkan bahwa aku tidak bisa membuat harapanku nyata.

Di awal tahun, dalam keheningan malam aku berdoa, “Ya Allah, aku ingin mengubah kejelekan dari diriku dengan segala kebaikan yang aku dan orang lain dambakan. Tanpa mengurangi sifat negatif dari diriku, pada tahun ini aku mencoba memutar itu semua menjadi sifat – sifat positif yang berpotensi tumbuh dapat aku terapkan dalam kehidupanku sehari – hari”. Dengan penuh niat meminta kepada Sang Pencipta, kata demi kata itu aku rangkai menjadi sebuah doa. Dengan penuh harap, rangkaian doa itu terucap dalam untaian kalimat. Berharap makbul.

Liburan selama dua minggu pada pergantian semester ganjil ke semester genap, sebagai satu – satunya saudara laki – laki kakak perempuan –anak tunggal waliku yang sangat dekat denganku-ku, sudah menjadi kewajiban aku menjaga dan mewarnai hari – harinya dengan cinta dan kasih sayang yang utuh tiada tara, termasuk membantu mempersiapkan hari yang tidak dapat terlupakan, hari pernikahan kakakku. Dengan serius dan penuh semangat aku berusaha maksimal melakukan apa yang dapat aku lakukan. Tanpa melirik sedikitpun terhadap apa yang menjadi kewajibanku sebenarnya -belajar-, aku bersiap – siap menanti hari itu datang. Sebagai efek dari apa yang telah aku lakukan dengan tidak lagi serius menuntut ilmu, daya ingatku berkurang, semangat dan keseriusan yang aku utamakan selama ini semakin luntur, daya pikir yang aku andalkan sebagai penopang utama dalam meraih cita – citaku tidak lagi memiliki banyak fungsi. Harapan kandas.

Merenungi apa yang telah terjadi membuatku bingung. Pada satu sisi aku merasa gagal dalam mengemban tanggung jawab sebagai seorang pelajar, di sisi lain aku ingin bangkit dari keterpurukan yang telah menerpa. Hanya ingin.

Tidak langsung berubah keadaan, semua membutuhkan proses. Aku sedang memupuk semangat yang membara untuk meraih apa yang aku inginkan di dunia ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain. Namun itu sangat susah. Sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, aku terlalu lemah untuk berkhayal menjadi apa yang setiap orang inginkan. Tidak ada daya dan upaya selain memohon kepada Allah Yang Maha Segalanya. Itu yang aku butuhkan dan harus lakukan sebagai umat manusia. Namun kembali lagi bahwa aku sedang dalam keterpurukan, hingga Dia aku lupakan. Suatu hal yang sangat jauh diluar harapanku, tak terkecuali orangtuaku dan orang – orang yang mengenalku lainnya. Tak kusangka apa yang telah orangtuaku berikan sebagai bekal iman aku tinggalkan begitu saja, tanpa takut azab darinya. Gagal dan berantakan.

Tak kurang dari sepuluh hari setelah hari bahagia itu tiba, ketika masa pencarian jati diriku yang sebenarnya datang, aku sedang dalam dunia yang tak sebenarnya yang harus aku lalui, kabar duka datang dari kakekku –ayah dari wali murid laki-laki-ku-. Setelah lima belas hari dirawat di rumah sakit, Sang pencipta mengabil kembali ciptaan-Nya. Pukulan yang cukup sakit bagi keluargaku dan orang – orang yang mencintainya. Tak dapat dielakkan lagi bahwa faktanya beliau telah kembali kepada-Nya, dan aku harus menerima dengan lapang dada, walau dengan proses keterpaksaan yang harus aku lalui.

Cobaan demi cobaan datang. yang aku dapatkan saat itu hanyalah sabar dan syukur serta ikhlas. Menjalani apa yang harus dijalani. Tidak ada kata menyerah, walaupun hampir angkat tangan dengan semua yang telah didapat dengan mencoba melakukan sesuatu hal yang tidak penting dan sangat tidak bermanfaat. Namun sekali lagi, aku hanyalah manusia biasa yang masih berpikir tentang pencapaian di dunia. Kembali lagi ini semua titipan Allah yang sedang digunakan untuk bahan uji coba ketangguhan dan kegigihan manusia yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Masih dengan problema pencarian jati diri untuk sebagai bahan dasar pembentukan pribadi dalam meraih cita – cita, dilema semakin memuncak. Ilmu yang didapat semakin sedikit ditambah dengan kurangnya partisipasi diri dalam mencapai tujuan terdekat, kenaikan kelas. Kini kakak kandungku yang sedang dalam proses registrasi perguruan tinggi, sedang dalam kegalauan yang amat mendalam. Sifat dasar perfeksionis yang ada dalam dirinya menangguhkan seluruh masukan yang diperuntukkan untuknya. Tak ada semangat dalam dirinya mencari sekolah lanjutan selain pada perguruan tinggi yang ia dambakan, Universitas Indonesia.

Tak ada kata selain doa yang aku ulang setiap kali berbicara dengan-Nya. Meminta yang terbaik bagi seluruh umat manusia, terutama aku beserta orang – orang yang aku sayangi dan mereka yang menyayangiku. Egois.

Hingga hasil studi per-semester genap diumumkan, doa masih aku panjatkan agar orang – orang yang mengetahui tidak kecewa, tak terkecuali aku. Tapi faka adalah nyata. Tidak dapat dimanipulasi sesuai yang kita inginkan. Itu hasil kerja kerasku selama enam bulan terakhir. Turun dua-belas peringkat. Ya, aku menyadari bahwa semuanya karena ulahku yang tak karuan. Tangisan pasti ada. Senyuman juga harus ada. Jawab semua pertanyaan sesuai kenyataan. Itu aku yang membuatnya. Kekecewaan sudah pasti datang. Tak ada artinya jika sebuah pelajaran hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, atau sebaliknya. Berharap masa – masa pencarian jati diri itu berakhir, yang tercoret dengan kata “kemalasan”.

Cinta dunia, aku ingin membuat duniaku indah. Sesuai apa yang aku dan orang lain harapkan untuk masa depan yang cemerlang. Kini saatnya membuat revolusi baru. Terinspirasi dari masukan – masukan orang – orang yang mencintaiku, akan kuukir lembaran akhir cerita panjang hidupku nanti dengan tinta emas teruntai kilauan kata mutiara bijaksana bagi kehidupan selanjutnya, tujuan akhir dunia.